Alasan Kenapa Analisa Fundamental Saham itu Penting
vemuda.com - Selamat berjumpa lagi di blog kami yang sangat sederhana ini. Kalau pada kesempatan sebelumnya kita telah membahas cara membeli saham dengan modal 1 juta rupiah, maka kali ini kita membahas alasan kenapa analisa fundamental saham itu penting.
Setidaknya, ada 2 cara analisis saham yang paling umum dan yang paling sering dipelajari. Yaitu analisa fundamental dan analisa teknikal.
![]() |
Source: unsplash.com oleh Austin Distel |
Kenapa kami bilang paling umum cuma ada 2, karena sebenarnya cara menganalisa saham itu ada banyak sekali tekniknya. Dari yang masuk akal, sampai ke tingkat yang terasa absurd.
Contohnya begini, ada teknik analisa saham dengan ilmu eksak, seperti gabungan fisika, matematika, dan lain-lain. Bahkan, ada teknik analisa saham dengan cara melihat siklus pergerakan matahari, bulan, bahkan planet.
Anda boleh percaya boleh juga tidak, tapi hal tersebut memang ada. Tapi apakah kami menyimpulkan teknik tersebut adalah salah dan tidak menghasilkan keuntungan? Tentu aja tidak. Karena tidak mungkin suatu teknik itu akhirnya dikenal sama orang lain tanpa ada cerita sukses di belakangnya. Tapi apapun tekniknya, Anda harus belajar dulu.
Ngomong-ngomong, buat Anda yang mau belajar saham tapi bingung mau memulai darimana, Anda boleh banget untuk cek postingan lainnya di dalam blog ini, karena di dalamnya berisi hal-hal seputar saham yang dijelaskan dengan bahasa yang sederhana.
Oke, mari kita lanjut. Kami akan bahas 2 hal yang paling umum tadi, yang pertama adalah analisa teknikal. Anda pernah lihat pasti grafik-grafik harga saham, naik turun, warna hijau warna merah, candle stik, trend, resistance, support, dan lain-lain. Semua hal yang berkaitan dengan grafik dan garis-garis itu disebut sebagai analisa teknikal, secara mudahnya.
Kenapa Anda harus melihat chart dan pergerakan harga itu? Karena analisa teknikal bekerja dengan cara menganalisis pergerakan harga yang terjadi di masa lampau dan memanfaatkannya untuk menentukan pergerakan harga di masa mendatang.
Jadi, yang bisa disimpulkan adalah, analisa fundamental ini memaksa Anda untuk harus mengetahui apa yang mau Anda beli. Jangan sampai Anda membeli saham, tapi Anda tidak tahu apa yang dikerjakan oleh perusahaannya terkait.
Kita tahu bahwa saham itu bentuknya lembaran, jangan sampai Anda cuma membeli lembaran yang tidak ada artinya. Atau lebih buruknya lagi, Anda tidak tahu lembaran itu artinya apa.
Jadi jangan sampai Anda berekspektasi ada yang mau beli lembaran saham yang Anda punya di harga yang lebih tinggi daripada harga yang Anda beli.
Misalnya Anda punya 1 lembar saham, selembar harganya Rp. 800, Anda pasti mau mencari untung dengan saham yang Anda pegang? Cara untung di saham itu ada 2, ada yang namanya capital gain atau selisih harga beli dan jual, dan ada yang namanya dividen, yaitu bagi hasil dari keuntungan perusahaan.
Untuk dapat keuntungan dari capital gain, apa sih alasan orang lain untuk membeli saham yang ada di tangan Anda sekarang dengan harga yang lebih tinggi?
Apa alasannya saham yang harganya Rp. 800 per lembar tadi harus dibeli orang lain dengan harga misalnya Rp. 1.000 per lembar?
Kami akan menyadarkan Anda di sini. Anda itu tidak membeli lembaran yang tidak ada artinya. Lembaran itu memiliki bisnis asli di belakangnya. Bisnis yang melakukan kegiatan usaha demi mendapatkan keuntungan.
Makanya sangat masuk akal ketika kami menyuruh Anda untuk tahu produk perusahaannya apa, dan cek kondisi keuangan perusahaannya sehat atau tidak.
Kami beri ilustrasi begini, misalnya ada kedai kopi, secara penampakan Anda pasti tidak tahu berapa total harga dari semua barang yang ada di kedai kopi ini seandainya kedai ini mau dijual ke orang lain.
Anda harus buka laporan keuangannya. Asumsikan saja bahwa kedai kopi ini punya laporan keuangan. Di laporan keuangan yang disajikan, ternyata setelah ditotal-total, kekayaan dari kedai kopi ini adalah Rp. 10.000.000.
Kita bisa bilang, wajarnya kalau kita mau membeli usaha kedai ini, ya kita harus mengeluarkan Rp. 10.000.000 kalau kita mau beli semuanya, yaitu 100 persen.
Misalnya dia memecah kedai kopi ini menjadi 10 lembar saham, yang artinya selembar mewakili 10 persen dari kepemilikan. Lalu Anda mau beli 1 lembar sahamnya. Wajarnya, harga selembar dari perusahaan kedai ini adalah Rp. 1.000.000 per lembar. Iya kan? Soalnya kan tadi, setelah ditotal-total, seluruh harganya Rp. 10.000.000, jadi selembarnya Rp. 1.000.000.
Suatu ketika Anda ditawari saham kedai kopinya selembar itu seharga Rp. 600.000, padahal Anda tahu harusnya Rp. 1.000.000 berdasarkan hitung-hitungan sederhana tadi, yaitu Rp. 10.000.000 dibagi 10 lembar.
Tapi kenapa ini ada yang jual di harga Rp. 600.000. Anda harusnya bertanya-tanya kenapa ya dia jual lebih murah? Apa tidak laku usaha kopinya, sehingga dia jual Rp. 400.000 lebih murah dari harga wajarnya? Apa usaha ini tidak menghasilkan keuntungan alias rugi terus? Makanya dijual Rp 600.000 selembarnya?
Anda bertanya dan bertanya terus. Setelah Anda cari-cari info, Anda mendapatkan kesimpulan bahwa sebenarnya kopinya laku, enak rasa kopinya. Tempat jualannya bagus, strategis, banyak yang lewat dan banyak yang beli.
Lalu ceritanya Anda beli saham tersebut dengan harga Rp. 600.000 per lembar, karena Anda tahu, seharusnya dengan kondisi perusahaan yang kopinya enak dan banyak yang beli dan tempatnya strategis, alias usahanya baik-baik saja, harga wajarnya adalah Rp. 1.000.000 per lembar.
Perhitungan sederhana ini yang akan membuat Anda lebih yakin untuk membeli saham kopi ini atau saham-saham perusahaan lain dalam hidup Anda.
Warren Buffet, seorang investor terkenal, yang memakai analisa fundamental juga dalam keputusan investasinya, pernah bilang,
"Price is what you pay, value is what you get."
Artinya, harga adalah sesuatu yang Anda bayarkan, sedangkan nilai atau value adalah sesuatu yang Anda dapat.
Dalam kasus kedai kopi tadi, Anda menilai bahwa Rp. 600.000 adalah harga yang lo bayarkan. Tapi value atau nilai yang lo dapatkan adalah Rp. 1.000.000.
Anda jadi bisa beli sahamnya dengan tenang, karena Anda tahu value yang ditawarkan 400 ribu rupiah lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang Anda bayar.
Nah, di sini Anda punya alasan nih, minimal 1, Anda memegang selembar kertas saham yang harganya Rp. 600.000 padahal harusnya dihargai Rp. 1.000.000. Karena nilai dari 1 lembar kertas ini Rp. 1.000.000 dan Anda tahu itu.
Anda bisa pegang saham ini dengan nyaman, karena Anda tahu bisa menjual itu ke orang lain dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang Anda beli. Apalagi kalau memang ternyata analisis Anda benar bahwa kedai kopi ini tetap bagus kinerja perusahaannya.
Tidak akan selamanya harga saham kopi tadi itu Rp. 600.000 per lembar. Karena apa? Karena kembali lagi, ini adalah lembaran yang melakukan usaha sungguhan di belakangnya.
Lembaran saham kopi ini di dunia aslinya akan tetap menghasilkan penjualan selama usahanya baik-baik saja.
Katakanlah kedai kopinya setelah setahun dia beroperasi, dia itu untung bersih Rp. 2.000.000. Anda sebagai pemegang saham kedai tersebut yang punya 10 persen dari kepemilikan usahanya, berhak dong untuk dapat 10 persen dari Rp. 2.000.000 tersebut, yaitu Rp. 200.000. Anda bayar Rp. 600.000, tahun depan Anda dapat untung alias dividen Rp. 200.000.
Orang-orang di pasar modal lama-lama akan sadar bahwa harga saham kedai tersebut untuk Rp. 600.000 adalah murah sekali. Jangankan orang-orang di pasar modal, Anda sendiri yang megang saham tersebut seharga 1 lembar harganya waktu Anda beli Rp. 600.000 pasti tidakak mau menjual kembali saham Anda dengan harga Rp. 600.000.
Alasannya minimal ada 2, yang pertama, Anda sudah tahu dan Anda sudah yakin bahwa seharusnya, sewajarnya dijual Rp. 1.000.000 per lembar karena value yang didapatkan itu senilai Rp. 1.000.000 selembarnya.
Yang kedua adalah, untuk apa Anda menjual selembarnya Rp. 600.000. Padahal 3 tahun kemudian Anda akan dapat Rp. 600.000 lagi dari hasil usahanya. 10 persen sahamnya masih Anda pegang.
Tahun ke-4, misalnya penjualannya masih bagus, dapat Rp. 200.000 lagi. Dan seterusnya dan seterusnya. Dengan catatan, penjualan kedai kopinya tetap bagus dan masih untung Rp. 2.000.000 per tahun.
Anda memang tidak mau menjual selembar kopi yang Anda punya dengan harga Rp. 600.000 per lembar. Seperti pasar pada umumnya, kalau memang barang atau katakanlah saham yang Anda pegang bagus, akan ada yang nawar selembar saham yang Anda punya itu seharga Rp. 700.000 atau sampai Rp. 1.000.000, dan seterusnya.
Makanya Anda tidak bisa semata-mata beli 1 lembar saham harganya Rp. 800, terus Anda berharap bisa menjual dengan harga Rp 1.000 pada 1 menit kemudian atau 1 hari kemudian.
Kan kita semua sepakat, sebuah usaha itu harus melewati perjalanan waktu tertentu supaya kita bisa melihat, dia untung atau tidak sih usaha ini.
Memangnya 1 lembar tadi sudah melakukan apa dalam 1 menit atau 1 hari? Mungkin saja masih rapat, mungkin saja masih giling biji kopi dalam 1 menit atau 1 hari itu.
Tapi yang terjadi di pasar modal adalah, karena jumlah orang dan lembaran sahamnya ada banyak sekali, selalu terjadi jual dan beli secara terus menerus.
Harganya terpaksa terombang-ambing mengikuti seberapa banyak orang yang mau beli dan seberapa banyak yang mau jual di hari tersebut. Dan itu benar-benar di luar kendali kita.
Harga suatu saham akan naik kalau yang mau beli lebih banyak daripada yang mau jual pada hari itu. Begitu pun sebaliknya, harga suatu saham akan turun ketika lebih banyak yang mau jual dibandingkan dengan yang beli.
Saking fluktuatif nya, di pasar modal jadi arena bermain yang seru. Makanya banyak sekali orang yang tertarik untuk mendapatkan keuntungan secara cepat di pasar modal karena hal tersebut.
Sukur-sukur kalau kita memilih saham yang tepat, beli di harga Rp. 800, dan kebetulan ada yang mau beli 1 menit kemudian di harga Rp. 850, atau bahkan Rp. 1000 kalau memang banyak orang yang mau beli.
Bagaimana kalau sebaliknya? Anda beli, tapi ternyata orang-orang di luar sana yang memegang saham tersebut lebih banyak yang mau jualan pada hari tersebut. Rugi dong, iya nggak?
Tentu saja sekalipun Anda baca laporan keuangan dan Anda tahu bahwa Rp. 600.000 per lembarnya untuk kedai kopi tadi adalah kemurahan untuk value yang didapatkan, harga saham tersebut di pasar modal masih sangat bisa turun juga, ke harga Rp. 500.000 atau Rp. 400.000, misalnya. Tergantung yang tadi, apakah lebih banyak yang mau jual atau yang mau beli.
Tapi, kalau memang akhirnya Anda menyadari bahwa saham tersebut adalah saham perusahaan yang bagus, dan Anda bisa dapat value yang lebih daripada apa yang Anda bayarkan, misalnya harganya turun lagi bahkan ke level Rp. 300.000 selembar, itu harusnya jadi hal yang mengembirakan bagi Anda. Karena Anda jadi bisa beli saham ini dengan harga Rp. 300.000, padahal value nya Rp. 1.000.000 yang Anda dapatkan.
Efek sampingnya apa kalau kita bertemu dengan perusahaan bagus yang harganya turun lagi turun lagi? Turun, kita jadi senang karena kita bisa beli perusahaan bagus di harga yang lebih murah lagi. Naik, kita juga senang, ya karena kita tahu bahwa perusahaan tersebut harusnya dihargai lebih tinggi dari harga yang sekarang terbentuk di pasar.
Anda bisa dapat kesimpulan value yang didapatkan lebih tinggi daripada harga yang dibayarkan itu dari mana? Ya dari laporan keuangan perusahaan terkait. Bagaimana, sudah pusing belum?
Ngomong-ngomong, itu tadi yang kami ceritakan adalah salah satu rasio keuangan yang sangat sering dibicarakan dalam analisa fundamental, namanya PBV alias Price to Book Value. Lebih jelasnya lagi akan kami jelaskan di lain kesempatan.
Jadi yang kami ceritakan semakin masuk akal nih, Anda harus tahu perusahaan terkait dan kalau bisa, Anda baca laporan keuangannya. Supaya Anda bisa berinvestasi dengan tenang di saham perusahaan yang baik.
Kami cerita seperti ini bukannya mau bilang bahwa analisa fundamental lebih baik daripada analisa lainnya. Kami cuma bilang bahwa kami lebih cocok menggunakan analisa fundamental, karena kita jadi bisa tahu, seharusnya perusahaannya harganya berapa per lembarnya, dan berapa value yang kita dapatkan sebenarnya.
Jadi, kita tidak diburu-buru harus mengecek pergerakan harga setiap menit atau setiap hari atau setiap ada kesempatan, lebih baik waktu luangnya dipakai untuk istirahat atau bekerja buat nyari uang lagi untuk kita masukkan lagi dananya ke perusahaan yang "salah harga" tersebut. Supaya kita punya lembarannya lebih banyak lagi.
Dan bila nanti saatnya telah tiba, ketika orang-orang sudah mulai menghargai saham yang kita pegang sesuai dengan harga wajarnya, kita bisa jual dengan tenang dan kita bisa mulai mencari lagi saham-saham bagus yang harganya lebih murah dibandingkan dengan value nya.
Ada salah satu investor sukses di Indonesia, namanya pak Lo Kheng Hong, beliau berinvestasi juga di pasar modal pakai analisa fundamental, dan beliau bilang, "belilah perusahaan yang salah harga." Nah, salah harga di sini, Anda bisa kira-kira sendiri ya maksudnya apa. Okay?
Kalau Anda merasa masih banyak orang yang tidak cocok dengan analisa sahamnya sendiri, Anda bisa share postingan ini ke teman-teman Anda yang lain, jangan-jangan mereka cuma belum tahu analisa saham yang cocok dengan dirinya itu seperti apa.
Semoga penjelasannya membantu, Anda bisa cek postingan lainnya tentang saham dalam blog ini.
Post a Comment for "Alasan Kenapa Analisa Fundamental Saham itu Penting"